Prinsip Sepertiga Salman al Farisi
Dari Abu
Hurairah RA, dari nabi SAW, beliau bersabda, “ Pada suatu hari seorang
laki-laki berjalan-jalan di tanah lapang, lantas mendengar suara dari awan :”
Hujanilah kebun Fulan.” (suara tersebut bukan dari suara jin atau manusia, tapi
dari sebagian malaikat). Lantas awan itu berjalan di ufuk langit, lantas
menuangkan airnya di tanah yang berbatu hitam. Tiba-tiba parit itu penuh dengan
air. Laki-laki itu meneliti air (dia ikuti ke mana air itu berjalan). Lantas
dia melihat laki-laki yang sedang berdiri di kebunnya. Dia memindahkan air
dengan sekopnya. Laki-laki (yang berjalan tadi) bertanya kepada pemilik kebun :
“wahai Abdullah (hamba Allah), siapakah namamu ?”, pemilik kebun menjawab:
“Fulan- yaitu nama yang dia dengar di awan tadi”. Pemilik kebun bertanya:
“Wahai hambah Allah, mengapa engkau bertanya tentang namaku ?”. Dia menjawab, “
Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang inilah airnya. Suara itu
menyatakan : Siramlah kebun Fulan – namamu-. Apa yang engkau lakukan terhadap
kebun ini ?”. Pemilik kebun menjawab :”Bila kemu berkata demikian, sesungguhnya
aku menggunakan hasilnya untuk bersedekah sepertiganya. Aku dan keluargaku
memakan daripadanya sepertiganya, dan yang sepertiganya kukembalikan ke sini
(sebagai modal penanamannya)”. (HR. Muslim).
Semenjak bertemu dengan Rasulullah dan iman
kepadanya, Salman hidup sebagai seorang Muslim yang merdeka, sebagai pejuang
dan selalu berbakti. Ia pun mengalami kehidupan masa Khalifah Abu Bakar;
kemudian di masa Amirul Mu’minin Umar; lalu di masa Khalifah Utsman, di waktu
mana ia kembali ke hadirat Tuhannya.
Di tahun-tahun kejayaan ummat Islam, panji-panji
Islam telah berkibar di seluruh penjuru, harta benda yang tak sedikit jumlahnya
mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak
untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam, hingga negara
mampu memberikan gaji dan tunjangan tetap. Sebagai akibatnya banyaklah timbul
masalah pertanggung jawaban secara hukum mengenai perimbangan dan cara
pembagian itu, hingga pekerjaan pun bertumpuk dan jabatan tambah meningkat.
Maka dalam gundukan harta negara yang berlimpah
ruah itu, di manakah kita dapat menemukan Salman?
Di manakah kita dapat menjumpainya di saat kekayaan
dan kejayaan, kesenangan dan kemakmuran itu?
Bukalah mata anda dengan baik!
Tampaklah oleh anda seorang tua berwibawa duduk di
sana di bawah naungan pohon, sedang asyik memanfaatkan sisa waktunya di samping
berbakti untuk negara, menganyam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul
atau keranjang. Nah, itulah dia Salman!
Perhatikanlah lagi dengan cermat!
Lihatlah kainnya yang pendek, karena amat pendeknya
sampai terbuka kedua lututnya. Padahal ia seorang tua yang berwibawa, mampu dan
tidak berkekurangan. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat
sampai enam ribu setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis, satu dirham pun
tak diambil untuk dirinya. Katanya: “Untuk
bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham. Yang
satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku,.
sedang satu dirham sisanya untuk shadaqah. Seandainya Umar bin Khatthab
melarangku berbuat demikian, sekali-kali tiadalah akan kuhentikan!”
Lalu bagaimana wahai ummat Rasulullah? Betapa wahai
peri kemanusiaan, di mana saja dan kapan saja? Ketika mendengar sebagian
shahabat dan kehidupannya yang amat bersahaja, seperti Abu Bakar, Umar, Abu
Dzar dan lain-lain; sebagian kita menyangka bahwa itu disebabkan suasana
lingkungan padang pasir, di mana. seorang Arab hanya dapat menutupi keperluan
dirinya secara bersahaja.
Tetapi sekarang kita berhadapan dengan seorang
putera Persi, suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan serta
hidup boros, sedang ia bukan dari golongan miskin atau bawahan, tapi dari
golongan berpunya dan kelas tinggi. Kenapa is sekarang menolak harta, kekayaan
dan kesenangan; bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu
dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri … ?
Kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia menerimanya?
Katanya: “Seandainya kamu masih mampu makan tanah — asal tak membawahi dua
orang manusia. —, maka lakukanlah!” Kenapa ia menolak pangkat dan jabatan,
kecuali jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang? Atau
dalam suasana tiada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia,
hingga terpaksa ia melakukannya dengan hati murung dan jiwa merintih? Lalu
kenapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia tidak mau menerima
tunjangan yang diberikan padanya secara. halal?
Diriwayatkan oleh Hisyam bin Hisan dari Hasan:
“Tunjangan Salman sebanyak lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaannya)
ketika ia berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya
(aba’ah) dijadikan alas duduknya dan separoh lagi menutupi badannya. Jika
tunjangan keluar, maka dibagi- bagikannya sampai habis, sedang untuk nafqahnya
dari hasil usaha kedua tangannya”.
Kenapa ia melakukan perbuatan seperti itu dan amat
zuhud kepada dunia, padahal ia seorang putera Persi yang biasa tenggelam dalam
kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan? Marilah kita dengar jawaban yang
diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu
ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha
linggi lagi Maha Pengasih.
Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu
Salman menangis. “Apa yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah”,’) tanya Sa’ad,
“padahal Rasulullah saw. wafat dalam keadaan ridla kepada anda?” “Demi Allah,
ujar Salman, “daku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap
kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita,
sabdanya:
“Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan
dunia ini ni seperti bekal seorang pengendara.
padahal harta milikku begini banyaknya”.
Kata Sa’ad: “Saya perhatikan, tak ada yang. tampak
di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya:
“Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu
darimu!” Maka ujarnya:
“Wahai Sa’ad!
Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita.
Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi. Dan pada saat tanganmu melakukan
pembagian”.
Rupanya inilah yang telah mengisi kalbu Salman
mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap
dunia dan segala harta, pangkat dengan pengaruhnya; yaitu pesan Rasulullah saw.
kepadanya dan kepada semua shahabatnya, agar mereka tidak dikuasai oleh dunia
dan tidak mengambil bagian daripadanya, kecuali sekedar bekal seorang
pengendara.
Salman telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya,
namun air matanya masih jatuh berderai ketika ruhnya telah siap untuk
berangkat; khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang ditetapkan. Tak
terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan sebuah baskom
untuk tempat minum dan wudlu . . . , tetapi walau demikian ia menganggap
dirinya telah berlaku boros . . . . Nah, bukankah telah kami ceritakan kepada
anda bahwa ia mirip sekali dengan Umar?
Pada hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau kepala
daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah. sebagai telah kita
ketahui, ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia
tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedang pakaiannya
tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya tak
berbeda dengan baju usangnya.
Pada suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu
jalan raya, ia didatangi seorang laki-laki dari Syria yang membawa sepikul buah
tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, hingga melelahkannya. Demi dilihat
olehnya seorang laki-laki yang tampak sebagai orang biasa dan dari golongan tak
berpunya, terpikirlah hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan
diberi imbalan atas jerih payahnya bila telah sampai ke tempat tujuan. Ia
memberi isyarat supaya datang kepadanya, dan Salman menurut dengan patuh.
“Tolong bawakan barangku ini!”, kata orang dari Syria itu. Maka barang itu pun
dipikullah oleh Salman, lalu berdua mereka berjalan bersama-sama.
Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan satu
rombongan. Salman memberi salam kepada mereka, yang dijawabnya sambil
berhenti: “Juga kepada amir, kami ucapkan salam”. “Juga kepada amir?” Amir mana
yang mereka maksudkan?” tanya orang Syria itu dalam hati. Keheranannya kian
bertambah ketika dilihatnya sebagian dari anggota rombongan segera menuju beban
yang dipikul oleh Salman dengan maksud hendak menggantikannya, kata mereka:
“Berikanlah kepada kami wahai amir!”
Sekarang mengertilah orang Syria itu bahwa kulinya
tiada lain Salman al-Farisi, amir dari kota Madain. Orang itu pun menjadi
gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf bagai mengalir dari bibirnya.
Ia mendekat hendak menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman menolak, dan
berkata sambil menggelengkan kepala: “Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu!
“
Sumber: Buku 60 Sahabat Nabi
Baca Juga
Posting Komentar
Posting Komentar