Uang Kertas, Sistem Bretton Woods, Petrodollar, Suriah dan Perang Dunia Ketiga
Emas (Dinar) dan Perak (Dirham) adalah logam mulia yang tidak bisa diciptakan manusia, melainkan dengan menambang untuk mendapatkannya. Emas dan Perak berfungsi sebagai “mata uang” karena memiliki nilai yang tinggi, tahan lama, bisa dipecah-pecah tanpa mengurangi nilainya, dan mudah dibawa. Emas dan Perak sudah menjadi “mata uang” sejak zaman romawi kuno, cina kuno, mesir kuno dan peradaban lainnya. Seiring perkembangan zaman, sifat manusia yang ingin praktis dan sifat yang suka merampas harta manusia lainnya, diciptakanlah apa yang disebut dengan “Bank”.
Bank didirikan oleh sekelompok Yahudi Eropa (Yahudi non-Arab) dengan tujuan untuk menyimpan emas masyarakat agar aman dan praktis. Setiap orang yang ingin menyimpan emasnya dalam Bank, pihak Bank akan memberikan selembar kertas (Sertifikat) yang berisi keterangan atau bukti kepemilikan emas dalam jumlah tertentu, dan jasa penyimpanan ini dikenakan biaya. Kapan saja pemilik emas ingin mengambil emasnya kembali, dia hanya perlu menunjukkan “Sertifikat” tadi. Sejak saat itu, sertifikat tersebut menjadi berharga, karena didasari dengan jumlah emas. Lama-kelamaan dengan alasan praktis, manusia mulai menggunakan sertifikat itu dalam transaksi jual-beli. Sertifikat itulah yang kini disebut dengan “Uang Kertas”.
Ketika terjadi kekacauan moneter pada abad 18 dan 19, berlanjut hingga Perang Dunia 1 dan Perang Dunia 2, beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Inggris serta negara lainnya mengadakan konferensi di Bretton Woods, New Hampshire pada tahun 1944, konferensi ini melahirkan sebuah sistem yang disebut Sistem Bretton Woods. Dari konferensi ini, lahirlah organisasi internasional seperti International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia (World Bank), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam sistem ini, disepakati bahwa USDollar digunakan dalam transaksi perdagangan dunia (Fixed Exchange Rate), dan USDollar dapat dijadikan cadangan divisa. Selain itu, USDollar didasari dengan Emas, yang mana nilai dasarnya :
Konferensi di Bretton Woods
USDollar 35 = 1 Ons Emas
Sedangkan mata uang negara lain didasari dengan nilai USDollar. Sebagai penggagas Bretton Woods, sistem ini sangat menguntungkan Amerika Serikat karena USD menjadi standar perhitungan. Pada saat itu, pemerintah AS berjanji untuk membolehkan pertukaran setiap USD yang dimiliki oleh negara manapun dengan emas yang tersimpan di Fort Knox, Amerika
Fort Knox
Akan tetapi, lama-kelamaan Amerika kesulitan untuk memenuhi cadangan emas setiap kali mencetak (memprint) dollar. Amerika sendiri sangat membutuhkan dollar karena Amerika terlibat perang dengan Vietnam pada tahun 1960an yang membutuhkan banyak biaya. Secara perlahan kesepakatan ini dilanggar oleh Amerika, tentu lebih mudah mencetak dollar daripada mendapatkan emas. The Fed (Federal Reserve) lah yang memiliki wewenang dalam mencetak uang Dollar, bukan Departemen Keuangan AS. Di sinilah letak keanehannya, wewenang pencetakan uang diberikan pada pihak swasta, yakni The Fed (lembaga Yahudi Eropa) yang seharusnya berada dalam wewenang pihak Pemerintah.
Pada akhirnya The Fed mencetak dollar melebihi cadangan emas yang dimilikinya. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan masyarakat dunia terhadap dolar AS. Hal tersebut ditandai dengan peristiwa penukaran dollar secara besar-besaran oleh negara-negara Eropa. Perancis, pada masa pemerintahan Charles de Gaule, negara yang pertama kali menentang hegemoni dollar dengan menukaran sejumlah 150 juta dollar AS dengan emas.
Charles de Gaulle
Tindakan Perancis ini kemudian diikuti oleh Spanyol yang menarik sejumlah 60 juta dollar AS dengan emas. Praktis, cadangan emas di Fort Knox berkurang secara drastis. Ujungnya, secara sepihak, Amerika membatalkan Bretton Woods System melalui Dekrit Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, yang isinya antara lain, USD tidak lagi dijamin dengan emas. ‘Istimewanya’, dollar tetap menjadi mata uang internasional untuk cadangan devisa negara-negara di dunia. 2 tahun kemudian, dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan global akan USDollar, sistem lain diciptakan yang disebut “Sistem Petrodollar”. Pada tahun 1973, terjadi sebuah kesepakatan antara Arab Saudi dan Amerika Serikat. Henry Kissinger, Sekretaris Negara Amerika Serikat saat itu menemui Raja Faisal untuk mengusulkan sebuah perjanjian, yaitu setiap pembelian barrel minyak dari Arab Saudi harus dibayar dengan USDollar. Berdasarkan perjanjian ini, negara manapun yang berusaha membeli minyak dari Arab Saudi harus menukar terlebih dahulu mata uang negara mereka dengan USD. Dalam mewujudkan kesepakatan ini, Amerika Serikat memberikan jaminan keamanan bagi ladang minyak Arab Saudi dari tetangga mereka, termasuk Israel.
Henry Kissinger (Kiri), Raja Faisal (Tengah)
“Siapa yang bisa mengendalikan pasokan makanan, maka dia bisa mengendalikan orang-orang; siapa yang bisa mengendalikan energi (oil), maka dia bisa mengendalikan benua; siapa yang bisa mengendalikan uang, maka dia bisa mengendalikan dunia” Henry Kissinger, 1973
Tahun 1975, negara-negara anggota OPEC juga sepakat untuk menjual minyak mereka berdasarkan USDollar dengan imbalan pertukaran senjata dan perlindungan militer.
Sistem Petrodollar ini, atau secara sederhana dikenal sebagai sistem “oil for dollars”, secara langsung meningkatkan kebutuhan dunia akan Dollar AS. Dan tentu saja, karena permintaan minyak dunia meningkat, maka meningkat pula permintaan Dollar AS. Sekali lagi, kebijakan ini sangat menguntungkan Amerika Serikat sekaligus menambah kekuatan sebagai negara super power.
Karena USDollar terus kehilangan nilainya, beberapa negara produksi minyak mulai mempertanyakan kebijakan tentang menerima uang kertas yang tak berharga ini sebagai transaksi minyak dunia. Beberapa negara akhirnya menjauh dari sistem petrodollar ini. Seperti Iran, Suriah, Venezuela, dan Korea Utara. Selain itu, beberapa negara lain memilih untuk menggunakan mata uang mereka sendiri untuk transaksi minyak seperti negara anggota BRICS, yakni Russia, China, dan India. Sedangkan Irak yang pernah berusaha menentang hagemoni USDollar dihancurkan, Irak menyatakan akan menjual minyak menggunakan Euro, bukan USDollar. Sejak saat itu dilancarkan segala propaganda media, Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein (Alm) diinvasi atas tuduhan kerja sama dengan teroris, memiliki senjata pemusnah massal, dan atas pembantaian saat invasi Kuwait. Pada akhirnya, Irak hancur akibat serangan koalisi AS, Barat, dan Negara Teluk, sedangkan Saddam Hussein dijatuhi hukuman gantung.
Hukuman gantung Saddam Hussein
Lain hal dengan Muammaf Khadafi (Alm), orang yang sangat blak-blakan menyatakan akan menjual minyak Libya dengan Emas dan menerapkan kebijakan ini terhadap negara-negara tetangga di Benua Afrika. Zionist langsung ketar-ketir dan tak tinggal diam, propaganda terhadap Khadafi pun dilancarkan, Colour Revolution dijalankan, terjadi revolusi di Libya. Barat kemudian mendukung mundurnya rezim diktator negara Libya karena pada saat itu Timur Tengah mengalami yang namanya “Arab Spring”.
Bukan itu saja, melalui salah satu Ulama Islampun, yakni Sheikh Yusuf Qaradhawi, Ulama Ikhwanul Muslimin, mengeluarkan fatwa untuk menentang pemerintahan Khadafi.
“Saya katakan pada saudara dan anak-anak saya yang menjadi tentara dan perwira di Angkatan Darat Libya untuk tidak taat ketika pemerintah memberi perintah untuk membunuh rakyat menggunakan pesawat tempur. Saya kini mengeluarkan fatwa mendesak tentara dan perwira yang bisa membunuh untuk membunuh Muammaf Khadafi.” Yusuf Qaradhawi
Yusuf al Qaradawi
Pada akhirnya, Khadafi wafat ditangan rakyatnya sendiri, kini Libya hancur lebur oleh serangan NATO dan para teroris, orang yang memimpin Libya menjadi boneka Barat. Banyak teroris seperti ISIS, Al-Qaeda berada di Libya. Setelah pihak Ikhwanul Muslimin menentang rezim Khadafi, Libya kini dilupakan dan dibiarkan luluh lantah. Apa daya, tugas Yusuf Qaradhawi dkk sudah selesai di Libya, saatnya kini berfokus ke Suriah.
Alm Muammar Khadafi yang dibunuh oleh rakyatnya sendiri
Di Suriah dilancarkan lagi propaganda Sunni-Syiah, dan menuduh rezim Assad membantai rakyat Sunni di Suriah. Tentu saja konflik Suriah berawal dari demonstrasi (Colour Revolution)untuk menurunkan rezim diktator. Setelah Suriah mulai dilanda konflik, dilancarkanlah isu Sunni-Syiah. Teroris ISIS, Jabhal Nusrah, FSA, dan afliasi pemberontak laiinnya menerima pasokan senjata dari AS. Tidak cukup disitu saja, ulama-ulama Wahabi serta Qaradawi dkk pun mengeluarkan fatwa untuk melengserkan rezim Assad yang telah membantai rakyat Sunni di Suriah. Organisasi HAM seperti “White Helmet” pun memainkan perannya di kota-kota Suriah, dengan membuat propaganda bahwa rezim Assad menggunakan senjata kimia terhadap rakyat Suriah, padahal ini semua adalah Fitnah. Begitu pula dengan Russia, organisasi White Helmet di Suriah memfitnah Russia karena serangan Pesawat Tempur Russia menyerang penduduk sipil kota Aleppo, padahal itu adalah serangan teroris dan pemberontak. Masalah Suriah sangatlah rumit, bukan sebatas ‘petrodollar’ saja, tapi juga masalah kepentingan zionist lainnya. Yaitu :
Suriah tidak bersedia menandatangani kesepakatan Jalur Pipa Gas yang melalui Suriah, dari Qatar menuju Eropa
Bank Sentral Suriah berada dalam kendali pemerintah, bukan Rothschild
Suriah tidak punya hutang kepada IMF
Suriah tidak mengimpor maupun memproduksi GMO’s
Suriah sangat menentang agenda New World Order
Suriah memiliki ladang minyak
Suriah sampai saat ini satu-satunya negara arab yang belum berdamai dengan Israel
Suriah selalu mengirim bantuan militer ke Palestina
Wilayah Suriah masuk kedalam incaran The Greater Israel (Yinon Plan)
Proxy war terhadap Suriah diiringi dengan kebijakan konsisten AS yang telah mendominasi energi kaya Timur Tengah, apalagi sejak AS mampu menerapkan pressure terhadap minyak produksi yang akan dijualkan dalam bentuk dollar AS sehingga memperkuat mata uang mereka, juga sangat tergantung pada kekuatan mereka untuk memproyeksikan kekuatan militer, sebagaimana telah terbukti oleh konsentrasi berat pangkalan militer di Timur Tengah.
Namun AS tidak selalu berhasil mencapai tujuan yang diinginkan, misalnya invasi ke Irak, yang seharusnya bisa mengontrol penuh atas sumber minyak penting, tapi karena musuh Saddam Hussein merupakan sekutu alami Iran, dengan demikian Irak akan bergerak ke ranah pengaruh Iran. Tampaknya jadi motivasi penting bagi AS yang notabene sekutunya Arab Saudi dan Qatar yang juga memiliki alasan tersendiri untuk melemahkan Iran.
Meskipun Suriah bukanlah produsen utama minyak, satu penjelasan tertentu yang mempertimbangkan mengapa Suriah menjadi target adalah penemuan pada tahun 2007 cadangan gas alam terbesar yang diketahui berada di Teluk Persia, yang mana kemudian dibagi antara Iran dan Qatar. Qatar kemudian membangun proyek jalur pipa gas yang melewati Suriah menuju Turki dan Eropa. Sedangkan Iran membangun proyek jalur pipa gas yang disebut PARS Pipeline. Proyek pipa gas Qatar-Turki belum juga dibangun di Suriah, sedangkan proyek pipa gas Iran PARS sudah mencapai pinggiran kota Damaskus yang bentar lagi akan selesai.
Sementara itu beberapa tahun terakhir ini Uni Eropa telah cemas atas ketergantungan sumber energi, dan akhirnya memulai proyek pipeline Nabucco pada tahun 2009, yang mana berawal dari laut Kaspia (Azerbaijan) melalui kaukasus, Turki, dan menuju Eropa dengan harapan mengurangi ketergantungan Uni Eropa terhadap gas alam Rusia. Awalnya Uni Eropa berharap pemasok (sumber) gas alam berasal dari Irak, Azerbaijan, Turkmenistan dan Mesir. Namun proyek Nabucco tersendat beberapa bulan lalu dikarenakan masalah sengketa.
Sementara saingannya yaitu pipeline South-Stream Rusia yang melintasi Laut Hitam melalui rute menuju Eropa telah sukses dibangun.
Tak dapat dipungkiri lagi, kalau konflik Suriah adalah pertempuran memperebutkan Gunung Emas Sungai Efrat. Gunung Emas yang dimaksud adalah energi yang kini dipertarungkan, yakni Jalur Pipa Gas yang dapat memelihara kelangsungan hidup Sistem Petrodollar. Jika Uni Eropa bersedia membeli gas Russia, maka Uni Eropa tidak memerlukan lagi USDolar untuk dipakai dalam transaksi, sebab tentu saja Rusia akan menerapkan kebijakan menggunakan mata uang Ruble (mata uang Russia). Permintaan USD pun menurun, dan tentu saja, ini kan melemahkan status AS sebagai negara super power. Pertarungan ini akan mengakibatkan 99 dari 100 orang akan meninggal, kemungkinan Perang Dunia Ketiga (Malhamah) pecah di kota Aleppo (Armageddon).
Rasulullah bersabda : “Hari Kiamat tak akan terjadi sebelum Sungai Eufrat mengering dan menyingkapkan Gunung Emas. Orang-orang saling membunuh untuk memperebutkannya. Setiap 99 dari 100 orang akan terbunuh, namun masing-masing dari mereka berkata, ‘Barangkali aku yang menjadi orang yang selamat itu ” (H.R Muslim)
Sumber :- https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_Bretton_Woods
- https://ftmdaily.com/preparing-for-the-collapse-of-the-petrodollar-system/
- https://www.arrahmah.com/read/2011/02/24/11112-yusuf-qaradhawi-keluarkan-fatwa-untuk-melawan-gaddafi.html
- https://en.wikipedia.org/wiki/Nabucco_pipeline
Baca Juga
Posting Komentar
Posting Komentar